NASKAH ID - Guru memiliki kedudukan dan peran penting dalam pembangunan nasional. Dalam catatan sejarah, tahun 1912 pernah terbentuk organisasi guru bernama Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB), yang selanjutnya diikuti pendirian organisasi guru lainnya.
Pada tahun 1932, demi mencerminkan semangat kebangsaan dan bukti perjuangan nasional, PGHB berubah nama menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI). Pada jaman pendudukan Jepang, organisasi tersebut di tutup, namun para guru pribumi terus menjaga semangat juangnya, hingga pada 24-25 November 1945 dilaksanakan Kongres Guru Indonesia. Salah satu hasil yang ditetapkan adalah lahirnya Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).
Semenjak saat itu, peringatan Hari Guru Nasional diperingati pada 25 November di tiap tahun, sebagaimana Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 1994. Keputusan tersebut diperingati untuk memberi penghormatan kepada guru.
Setiap kita menyebut guru, pikiran kita seolah tidak bisa lepas dari sosok Ki Hajar Dewantara, yang merupakan salah satu penggagas pendidikan transformatif, melalui Perguruan Taman Siswa-nya. Konsep pendidikan Dewantoro (begitu banyak orang menyebut Dewantara), dengan mengaktualisasikan kemerdekaan subjek didik. Aktualisasi tersebut identik dengan pemikiran Paulo Freire (tokoh Pendidikan dari Brazil).
Perbedaannya, jika konsep Fraire muncul dari situasi sosial yang tidak adil dan politik yang represif, sedangkan konsep Dewantoro muncul dari Bangsa yang terjajah. Sayangnya ideologi Taman Siswa itu dibredel habis pada era orde baru demi pembangunan ekonomi, dengan mengkotakkan para aktivis saat itu sebagai kaum kiri
Di tahun yang mendekati tahun politik, banyak hal ditarik-tarik pada kepentingan pemenangan Pemilu, bahkan pada berbagai konflik yang ada. Dampaknya, banyak orang mulai jenuh berbicara tentang hukum, politik, hingga ekonomi.
Kejenuhan tersebut menjadi akar pertanyaan dari para pemikir: pendidikan seperti apakah yang dapat membebaskan bangsa dari segala kemelut ini?
Secara common sense banyak yang menjawab dengan pendidikan transformatif. Sebagian “pemikir muda” menjelaskan bahwa wujud transformatif mengarah pada konsep pendidikan pembebasan, berdasarkan pemikiran Freire. Sedangkan “pemikir tua” mengingatkan bahwa jauh sebelum freire dikenal, Dewantoro melalui pendidikan Taman Siswa, menawarkan konsep pendidikan yang memerdekakan, yang secara subtantif sama dengan tesis Fraire.
Hanya saja bersama dengan matinya Taman Siswa, maka berhenti pula proses reproduksi wacana tentang pendidikan yang dibangun Dewantoro itu, tidak seperti Freire yang memperoleh tempat pertama setelah dikonstruksi ulang oleh “aktifis muda.”
Di peringatan Hari Guru Nasional tahun 2022 ini saya coba mendiskursuskan dalam pemikiran saya, tentang: apa yang membedakan pendidikan sekarang dengan pendidikan tranformatif?
Ada 3 hal yang saya gunakan sebagai pisau analisis:
Pertama, Ideologi konserfatif yang berakar pada kapitalisme liberal. Konserfatif kapitalisme liberal ini berpijak pada kultur dan mentalitas. Kemiskinan, buta huruf, dan ketertinggalan sebagai kesalahan orang miskin, karena di nilai bodoh, malas, tidak memiliki motivasi tinggi, dll.
Orang miskin gagal menyesuaikan diri dalam tata sosial, atau bahkan menyimpang dari ketentuan yang diharapkan masyarakat. Pemikir konserfatif percaya bahwa proses natural akan berjalan dan menguntungkan masyarakat. Oleh karena itu kaum ini menentang penjaminan sosial bagi penganggur, karena berdampak semakin malas dan mengurangi stimulan.
Kaum ini anti struktur sosial termasuk stratafikasi sosial, karena perbedaan sosial disebabkan perbedaan individu dengan bakat. Setiap orang harus berkembang sesuai dengan bakat dan bawaannya, sehingga bisa membentuk kemadirian dalam memahami semua aspek;
Kedua, Ideologi liberal yang memaknai bahwa miskin sebagai hal masalah serius dan harus dipecahkan. Kemiskinan dianggap sebagai masalah kesempatan. Orang miskin yang diberi kesempatan berusaha, maka dapat mengatasi kemiskinanya. Oleh karenanya perlu ada pelayanan bagi masyarakat miskin, membuka lapangan kerja, dan menyebarluaskan pendidikan. Kaum ini tidak mempermasalahkan struktur sosial, tapi kaum ini lebih optimis bahwa ideologi liberal mampu memberikan kebebasan.
Artikel Terkait
Rekonstruksi Pancasila Sebagai Etika Pelayanan Publik
Menakar Kasus Penembakan di Rumah Jenderal
Dosen FISIP UNTAG Banyuwangi Hary Priyanto Rampungkan Study S3, Selamat ya Pak Doktor!
Ucapkan Selamat, Ini Pesan Ketua GMNI Banyuwangi Kepada MenPAN-RB Abdullah Azwar Anas